Kisah Seorang Ibu dan Anaknya (3)

Posted: December 9, 2011 in CerBung, Ibu

Bayu tidak lagi bisa berkonsentrasi pada film. Dengan napas sedikit terengah, tanpa dapat dikendalikan lagi, jari-jarinya mulai mengelus-elus tonjolan payudara ibunya yang terbuka. Gerakan itu sangat halus, nyaris tak terlihat. Namun, Bayu bisa merasakannya. Ia merasa seakan ujung jari terbakar. “Hentikan!” katanya pada diri sendiri.

Setelah beberapa menit, Susan melihat jari-jari anaknya bergerak memberikan sentuhan sensual, hampir menggelitik. “Hal ini masih bisa saja kebetulan” pikirnya, tapi ketika dirasakannya puting buah dadanya mulai menegak, dia tahu harus segera menghentikannya, tapi dia juga bingung bagaimana caranya menghentikan tingkah Bayu tanpa membuatnya malu. Bukankah sangat mungkin Bayu tidak menyadari apa yang telah dilakukannya dan itu adalah sentuhan ketidak sengajaan. Untuk sesaat Susan dilanda kebingungan, namun rasa kesemutan dan geli mulai dirasakannya dicelah selangkangannya, rasa kesemutan dan geli yang begitu nyaman.

Bayu dengan tangan gemetar menjadi semakin berani karena tidak ada larangan dari ibunya, jari-jarinya mengelus sampai melewati batas atas baju ibunya. Sekarang tidak ada keraguan lagi bahwa Bayu sengaja melakukannya, Susan nyaris tidak bisa percaya bagaimana Bayu menjadi sedemikian berani melakukan itu.

Napas Susan mulai terengah, dia ingin menghentikannya tapi sudah begitu lama sejak seorang laki-laki memperlakukannya seperti itu. Perasaannya sebagai seorang ibu berperang dengan perasaan dan hasrat seorang wanita yang sudah begitu lama tidak mendapat sentuhan intim seorang laki-laki. Susan mulai menggeliat di kursinya terdorong oleh perasaan yang begitu luar biasa merangsangnya, dia mulai merasakan celana dalamnya basah. Tapi ketika ia merasa jari-jari Bayu mulai bergerak lebih jauh ke bawah mengarah putting susunya, dia mengulurkan tangan dan menahan tangan Bayu, mencegah setiap gerakan lebih lanjut. Namun dia tidak menariknya agar lepas dari buah dadanya, tapi hanya menahan dengan menekankan tangan tersebut ke buah dadanya.

Bayu menghela napas lega ketika ibunya tidak memarahi tingkah lakunya. Saat Susan mengambil popcorn di kursi sebelahnya, kembali Bayu mengambil kesempatan untuk menggerakkan jari ke bawah lagi, hingga hampir mencapai puting susu ibunya, sebelum tangan Susan kembali menghentikan tingkahnya.

Sekarang Susan memegang jari-jari Bayu yang masih ada diluar batas bajunya, sementara detak jantungnya sendiri berdegup dengan kerasnya. Bayu sendiri merasakan jantungnya seakan copot dari tangkainya, sedangkan penisnya yang tegang dan kaku terasa tidak nyaman didalam celananya, dia menggeliat mencari posisi duduk yang sedikit melepaskan penisnya dari himpitan celananya, ingin sekali dia bisa mengulurkan tangan membenahi batang penisnya, tapi dia tidak bisa melakukannya karena malu.

Susan memegang tangan Bayu yang gemetar dengan erat, dia sadar jari tangan Bayu telah menyentuh aerola buah dadanya, sedikit lagi akan sampai pada puting buah dadanya yang kini berdenyut keras, dan tegang menyakitkan. Nafasnya kini tidak kalah cepatnya dengan nafas Bayu, mereka sama-sama terengah menahan nafsu yang mulai meliputi diri mereka.

Keduanya duduk dengan kaku. Ketika pegangan jari-jari Susan agak mengendor, dia merasa jari-jari Bayu mulai bergerak ke bawah lagi. Susan menutup matanya dan menarik napas panjang. Dia bisa merasakan jari-jari Bayu bergerak di permukaan bergelombang dari areola nya, kemudian mengelus di sekitar inti dari puting buah dadanya yang membengkak.

Tiba-tiba, lampu-lampu bioskop menyala, rupanya film telah berakhir tanpa mereka sadari, Susan melompat seperti tersengat arus listrik yang sangat kuat. Ia cepat-cepat menarik tangan bayu dari atas dadanya. Sejenak dia duduk dengan tubuh gemetaran sambil menunggu beberapa pengunjung yang keluar di lorong sebelahnya, lalu akhirnya dia berdiri dengan kaki gemetar melangkah ke lorong tersebut dan berjalan keluar gedung bioskop. Ketika mereka berjalan meninggalkan gedung bioskop, Bayu harus berjalan di belakang ibunya dengan harapan bahwa ibunya tidak bisa melihat ereksinya.

Susan menarik napas panjang dan dia berdesah saat berjalan menyusuri lorong di depan Bayu. Hatinya sempat bertanya-tanya mengapa Bayu tertinggal di belakangnya. Dia melirik kebelakang dan menyadari bahwa selangkangan anaknya tampak seperti membengkak karena ereksinya. Susan harus menahan diri untuk tidak memandang kemabali kearah anaknya. Tiba-tiba saja Susan merasa dirinya seperti saat kuliah dulu, saat dia masih pacaran dengan Taufan, begitu banyak kenangan indah dan mesra yang mereka alami.

Dalam perjalanan pulang mereka nyaris tidak bercakap sepatahpun, masing-masing asyik dengan lamunannya sendiri. Bayu tidak percaya dengan apa yang telah terjadi di dalam bioskop, rasanya seperti mimpi indah yang terputus “ Sialan” makinya dalam batin, dia sudah mengelus buah dada ibunya, tanpa suatu cegahan yang berarti dari ibunya, betapa inginnya dia mengulang kembali semua itu, tapi disudut hatinya terungkit juga perasaan bersalah kepada ibunya yang telah berbaik hati mengajarkannya bagaimana seharusnya berkencan, sementara balasan darinya adalah tingkah laku yang sangat kurang ajar.

Susan sendiri tidak percaya bahwa dirinya telah membiarkan semua itu terjadi, tetapi dia berulang-ulang dia mengatakan kepada dirinya sendiri “bahwa hal itu bukan kesalahan siapapun melainkan hanya sebuah proses therapy agar anaknya memiliki rasa percaya diri saat berkencan dengan gadis sebayanya”. Dia mengatakan hal itu agar rasa bersalah yang muncul dihatinya berkurang.

Sesampainya dirumah, Bayu membuka pintu rumah mereka, lalu berhenti dan berbalik kepada ibunya. “Terima kasih ma … eh Susan, sa. .. saya. .. saya. .. telah melewatkan waktu yang sangat menyenangkan denganmu,” katanya tergagap-gagap, karena rasa gugup yang kembali muncul. “Aku juga Bayu, karena kamu telah memberikan sebuah kencan yang luar biasa,” kata Susan tulus.

Bayu berdiri gugup di depan ibunya, tangan-nya gelisah di sisi tubuhnya. Keinginan yang kuat untuk meraih dan mencium ibunya nyaris tidak terkendalikan, dengan susah payah dia mengendalikan dirinya dan bertanya, “Eh … apakah … apakah … seorang pria mendapatkan ciuman pada kencan pertama … pertamanya,” tanya Bayu dengan gugup. Hatinya berdebar kencang lagi, sedang lututnya terasa goyah. Ketika ibunya tidak langsung menjawab, dia merasa bahwa angannya buyar tertiup angin.

“Yah, mungkin tidak pada kencan pertama, tetapi karena kau begitu baik kurasa sebuah ciuman tak ada salahnya” jawab Susan, sedangkan pikirannya berteriak “Tidak! Tidak!” tapi malam yang indah, kencan yang mereka lakukan serta pengaruh anggur yang diminumnya meruntuhkan akal sehat Susan sebagai seorang ibu.
KeBahgaian 4

Leave a comment